Bu Yanti Guru Srikandi
Angin dingin menerpa punggungnya. Perlahan dia sadar lalu membuka mata, tetapi tak melihat apa-apa karena gelap gulita. “Angin masuk tentu melalui lubang. Dan hanya lubang satu- satunya jalan keluar,” pikirnya.
Dengan susah payah dia menggeserkan tubuhya. Seberkas cahaya muncul melalui lubang sebesar batang kelapa menerangi tempat itu. Tampak anak-anak bergelimpangan, dan barang-barang bawaannya berserakan. Dia mau menolong mereka, tetapi apa daya, dia tak dapat ke mana-mana.
Pergelangan tangan, dan jemarinya remuk. Lengan bawahnya tertindih oleh batu yang sangat besar, dan berat. Merasa tak berdaya, dia pun berdoa memohon pertolongan. Mukjizat tak kunjung datang, membuatnya putus asa, lalu menangis sampai terdengar suara tangisan histeris anak-anak. Didorong keinginan kuat untuk menyelamatkan anak-anak itu, semangat hidupnya bangkit kembali. Anak-anak tak berdosa itu, pasti mati kalau tidak segera dikeluarkan dari tempat itu. Dia bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Dia yang memimpin anak-anak datang ke tempat itu. Sudah lama direncanakan untuk tamasya ke pantai Teluk Pakadai. Saat berangkat, motor boat yang mereka tumpangi rusak. Tamasya batal. Dia memutuskan untuk membawa kembali murid-muridnya ke sekolah.
Anak-anak kecewa dan mendesak agar tamasya dialihkan ke Gunung Ambawang. Di sana terdapat objek wisata yang unik. Sebuah perahu batu berukuran besar bertengger di lereng gunung. Konon, dahulu kala sebuah Wangkang sejenis perahu berlayar dari negeri Tiongkok kandas di sana. Setelah air laut surut tampak gunung, dan perahu batu. Selanjutnya, batu itu disebut Batu Wangkang. Di tengah batu, terdapat lubang seperti pintu gua. Di dalamnya terdapat liang menyerupai ruangan yang cukup luas. Ketika mereka berada di dalam liang, hujan lebat turun diikuti angin kencang yang menumbangkan pohon-pohon. Air yang semakin deras mengakibatkan longsor. Batu-batu berjatuhan menutupi pintu gua. Satu di antaranya meremukkan pergelangan, dan menindih lengan Bu Guru. Mereka semua terkurung entah sampai kapan. Bantuan dari penduduk tak dapat diharapkan, karena penduduk tahu kalau anak-anak sedang bertamasya ke Pantai Teluk Pakadai.
Lelah menangis mereka terdiam, hanyut dalam lamunan masing-masing. Dalam posisi tidak berdaya, Bu Guru mengenang kembali masa lalunya. Terbayang desanya yang kecil asri di daerah Wonosari. Dia bertumbuh sebagai anak petani yang rajin, dan santun. Di sekolah, dia dikenal sebagai anak yang cerdas dan cekatan. Dia menjadi anak unggulan yang menarik simpati banyak orang. Ada yang menawarkan beasiswa untuk menjadi dokter. Yang lain mengajaknya menjadi pramugari. Gadis lugu itu tetap pada cita-citanya, menjadi guru merangkap pekerja sosial. Cita-cita itu diilhami oleh sebuah tulisan dalam buletin paroki tentang anak-anak di desa terpencil yang merindukan guru. Untuk mewujudkan cita-citanya, setamat SMA dia kuliah di IKIP Widya Mandala Madiun. Di sana, ada fakultas yang mempersiapkan calon guru merangkap pekerja sosial, dan motivator pembangunan masyarakat. Setiap hari Sabtu, para mahasiswa terjun ke desa untuk mendekatkan diri serta mempelajari masalah yang dihadapi warga desa. Berkat ketekunannya, dia dapat menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, dan meraih ijazah sarjana.
Di negeri dengan penduduk berjubel ini, tak mudah mencari kerja. Virus nepotisme, membuat ijazah seakan tak berguna. Berkas lamaran tanpa amplop masuk keranjang sampah. Maka dia mengembara mencari kerja. Ironis. Di suatu sisi mengeluh kekurangan guru, di sisi lain ribuan guru hanya dijadikan honorer, sementara PNS lainnya diperbanyak untuk menyelesaikan mission sacre, yaitu mengisi TTS dan menjaga raja-ratu di papan catur. Jalan hidup membawanya sampai di kota kabupaten di Kalimantan Barat.
“Bu Yanti,” suara Kepala Dinas melengking membaca lembaran ijazah lalu melanjutkan: “Dalam status honorer, Anda ditempatkan di sebuah desa di daerah Ambawang Laut. Anda bersedia?”
“Saya bersedia, Pak,” sahut Yanti.
“Perlu Anda ketahui…,” timpal Kepala Dinas. “Tiga guru sebelumnya gagal. Ada yang tak betah, karena tempatnya terpencil. Ada yang tak bisa bekerja sama dengan guru lainnya. Ada yang malah membuat skandal, sehingga ditolak oleh penduduk setempat. Kami berharap Bu Yanti berhasil. Setelah itu, kita lihat apa Anda layak diangkat jadi guru.” Penjelasan itu diterimanya sebagai tantangan. Dia akan buktikan bahwa, menjadi guru baginya bukan sekadar mencari kerja, melainkan demi panggilan hidup, dan cintanya kepada anak-anak, dan pedesaan.
Dengan selalu diiringi doa, dia mulai bekerja. Pagi hari di sekolah. Sore hari ke kampung-kampung mendatangi orangtua murid, dan anak-anak yang putus sekolah. Minggu sore dia berada di tengah muda-mudi untuk berolahraga dan menyanyi bersama. Nama Bu Yanti mulai bersemi dalam lubuk hati setiap warga desa.
Dalam waktu enam bulan, terjadi perubahan besar di lereng Gunung Ambawang. Suasana menjadi riang dan bersemangat. Gairah belajar anak-anak meningkat. Para ibu tidak lagi duduk santai sambil saling bertukar gosip, tetapi sibuk bekerja di kebun sayur masing-masing. Penyuluhan, dan contoh mereka peroleh dari Bu Yanti. Warga desa diperkenalkan dengan pola hidup sehat, dan bersih membuat mereka tampil percaya diri. Para muda-mudi didorong untuk berolahraga. Semua jerih payahnya membuahkan hasil. Murid semakin bertambah. Anak-anak yang putus sekolah dengan kesadaran sendiri kembali ke bangku sekolah. Regu voli Ambawang memboyong piala Sumpah Pemuda, mengagetkan seisi kecamatan. Bangunan sekolah yang semula beratap, dan berdinding rumbia diganti dengan atap seng, dan berdinding papan hasil swadaya masyarakat sebagai tanda terima kasih kepada Bu Yanti. Ibu-ibu terutama para gadis, tampil bersih, dan rapi, baik rias maupun busana, membuat desa itu bagaikan taman penuh bunga yang didatangi kumbang. Bu Yanti menjadi Pradnya Pharamita, atau Ratu Ilmu Pengetahuan bagi warga desa.
Prestasi dan kecantikannya menjadi topik pembicaraan guru-guru muda di seluruh kabupaten. Tidak sedikit yang datang mendekat. Senyuman ramah dia berikan kepada semua orang, tetapi hati, dan cintanya hanya untuk Mas Heru teman kuliahnya di Madiun, yang kini sedang mengambil S2 di Jakarta. Keduanya bersepakat untuk menikah, kalau kuliah Mas Heru selesai, dan dirinya resmi menjadi guru dalam status PNS. Semua itu tersusun rapi dalam ingatannya.
*
Suara tangisan anak-anak memecah kesunyian Liang. Mereka panik ketakutan karena, Bu Yanti tidak berada di tempatnya. Dia menghilang. Tak seorang pun tahu, kapan Bu Guru pergi, dan perginya lewat mana. Merasa ditinggalkan, anak-anak marah, dan mengumpat Bu Yanti sebagai guru yang tidak bertanggung jawab. Tangisan berhenti ketika terdengar suara ramai di mulut gua. Batu-batu disingkirkan. Pintu gua terbuka. Anak-anak muncul berlari langsung ke dalam pelukan orangtua masing-masing.
“Siapa yang beri tahu kalau kami terkurung di sini?” tanya seorang anak kepada ayahnya. “Bu Guru yang beri tahu. Untung saja Bu Yanti cepat ngasi kabar,” sahut sang ayah. Pak Kepala Desa dan Hansip masuk ke dalam liang. Sesaat kemudian terdengar jeritan histeris.
“Bu Guruu..!” suara Kades. Penduduk berlari masuk liang. Mereka tersentak melihat sesuatu yang mengerikan. Sepotong tangan berlumuran darah tertindih batu. Sebilah pisau pramuka terletak di samping tangan itu. Penduduk bertangisan.
“Bu Yanti itu bukan manusia, tapi dewi,” kata Pak Kades.
“Bukan dewi, tetapi Srikandi,” timpal yang lain. “Hanya Srikandi yang rela mengorbankan dirinya untuk keselamatan orang lain. Srikandi itu pahlawan.”
“Bu Yanti di mana?” tanya Pak Kades. Tak ada jawaban karena mereka hanya memikirkan anak-anak, dan tidak memperhatikan Bu Yanti.
Dengan rasa menyesal, mereka berlari turun gunung mencarinya, tetapi Bu Yanti tidak ada di rumahnya. Seorang nenek menjelaskan bahwa, ibu-ibu sudah membawa Bu Yanti dengan sampan ke Puskesmas Kubu.
Warga desa berkumpul di sekolah. Mereka menangis, dan berdoa. Jasa dan kebaikan Bu Yanti dikenang. Puji Tuhan, meski tangannya cacat, Bu Guru selamat. Peristiwa itu menarik perhatian masyarakat. Sebuah stasiun radio membujuk Bu Guru untuk diwawancarai. Hasil wawancara disiarkan dan direlay oleh stasiun radio lainnya.
“Bu Guru disebut sebagai pahlawan karena rela mengorbankan diri untuk keselamatan orang lain,” pengantar wawancara oleh reporter.
“Saya bukan pahlawan. Berniat pun tidak,” potong Bu Yanti.
” Ibu nekat memotong tangan sendiri untuk menyelamatkan anak-anak.”
” Saya takut mati, dan tak mau mati sia-sia. Karena itu, saya potong tangan saya,” sahut Bu Yanti.
“Yang tertindih batu ‘kan pergelangan, dan jemari. Kenapa Ibu memotong tangan Ibu sampai ke siku?” tanya reporter.
“Memotong lengan tidak mudah, karena harus memotong tulang. Lebih mudah memotong siku karena hanya memisahkan lengan atas, dan lengan bawah. Itu yang kulakukan,” sahut Bu Yanti.
“Ibu suka membawa pisau?”
“Tidak. Tetapi sebagai pramuka saya akrab dengan pisau. Dengan pisau saya membantu ibu-ibu di kebun sayur. Ranting yang mengadang saat bertamasya, dapat saya singkirkan dengan pisau, dan akhirnya, dengan pisau saya memotong tangan sendiri agar selamat,” jelas Bu Yanti.
“Ibu bisa mati karena kehabisan darah.”
“Untuk menahan darah saya ikatkan sehelai syal erat-erat di atas siku sebelum memotong tangan,” jelas Bu Yanti tenang.
“Kata penduduk, pintu gua itu tertutup batu. Bagaimana Ibu bisa keluar?”
“Angin yang masuk menunjukkan bahwa ada jalan keluar. Lewat lubang itu saya menyuruk keluar dan berhasil,” jelas Bu Guru.
“Dengan tangan yang cacat itu, apa Ibu tidak merasa minder ?”
“Minder terhadap siapa? Tak seorang pun mengejek tanganku ini. Kalaupun cacat ini menjadi kendala untuk menjadi PNS khususnya guru, ya, tidak apa-apa. Saya terima dengan ikhlas.”
Wawancara terus berlanjut. Persatuan Guru Republik Indonesia Kalbar memperjuangkan agar Bu Yanti diterima sebagai guru. Organisasi lain mendukung. Akhirnya, Bapak Menteri sendiri menyampaikan surat pengangkatan Dra Yustina Haryanti menjadi guru. Organisasi sosial internasional di Swiss mengirim sepotong tangan imitasi yang elastis, dan sempurna sehingga membuat penampilan Bu Yanti kembali sempurna.***
Angin dingin menerpa punggungnya. Perlahan dia sadar lalu membuka mata, tetapi tak melihat apa-apa karena gelap gulita. “Angin masuk tentu melalui lubang. Dan hanya lubang satu- satunya jalan keluar,” pikirnya.
Dengan susah payah dia menggeserkan tubuhya. Seberkas cahaya muncul melalui lubang sebesar batang kelapa menerangi tempat itu. Tampak anak-anak bergelimpangan, dan barang-barang bawaannya berserakan. Dia mau menolong mereka, tetapi apa daya, dia tak dapat ke mana-mana.
Pergelangan tangan, dan jemarinya remuk. Lengan bawahnya tertindih oleh batu yang sangat besar, dan berat. Merasa tak berdaya, dia pun berdoa memohon pertolongan. Mukjizat tak kunjung datang, membuatnya putus asa, lalu menangis sampai terdengar suara tangisan histeris anak-anak. Didorong keinginan kuat untuk menyelamatkan anak-anak itu, semangat hidupnya bangkit kembali. Anak-anak tak berdosa itu, pasti mati kalau tidak segera dikeluarkan dari tempat itu. Dia bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Dia yang memimpin anak-anak datang ke tempat itu. Sudah lama direncanakan untuk tamasya ke pantai Teluk Pakadai. Saat berangkat, motor boat yang mereka tumpangi rusak. Tamasya batal. Dia memutuskan untuk membawa kembali murid-muridnya ke sekolah.
Anak-anak kecewa dan mendesak agar tamasya dialihkan ke Gunung Ambawang. Di sana terdapat objek wisata yang unik. Sebuah perahu batu berukuran besar bertengger di lereng gunung. Konon, dahulu kala sebuah Wangkang sejenis perahu berlayar dari negeri Tiongkok kandas di sana. Setelah air laut surut tampak gunung, dan perahu batu. Selanjutnya, batu itu disebut Batu Wangkang. Di tengah batu, terdapat lubang seperti pintu gua. Di dalamnya terdapat liang menyerupai ruangan yang cukup luas. Ketika mereka berada di dalam liang, hujan lebat turun diikuti angin kencang yang menumbangkan pohon-pohon. Air yang semakin deras mengakibatkan longsor. Batu-batu berjatuhan menutupi pintu gua. Satu di antaranya meremukkan pergelangan, dan menindih lengan Bu Guru. Mereka semua terkurung entah sampai kapan. Bantuan dari penduduk tak dapat diharapkan, karena penduduk tahu kalau anak-anak sedang bertamasya ke Pantai Teluk Pakadai.
Lelah menangis mereka terdiam, hanyut dalam lamunan masing-masing. Dalam posisi tidak berdaya, Bu Guru mengenang kembali masa lalunya. Terbayang desanya yang kecil asri di daerah Wonosari. Dia bertumbuh sebagai anak petani yang rajin, dan santun. Di sekolah, dia dikenal sebagai anak yang cerdas dan cekatan. Dia menjadi anak unggulan yang menarik simpati banyak orang. Ada yang menawarkan beasiswa untuk menjadi dokter. Yang lain mengajaknya menjadi pramugari. Gadis lugu itu tetap pada cita-citanya, menjadi guru merangkap pekerja sosial. Cita-cita itu diilhami oleh sebuah tulisan dalam buletin paroki tentang anak-anak di desa terpencil yang merindukan guru. Untuk mewujudkan cita-citanya, setamat SMA dia kuliah di IKIP Widya Mandala Madiun. Di sana, ada fakultas yang mempersiapkan calon guru merangkap pekerja sosial, dan motivator pembangunan masyarakat. Setiap hari Sabtu, para mahasiswa terjun ke desa untuk mendekatkan diri serta mempelajari masalah yang dihadapi warga desa. Berkat ketekunannya, dia dapat menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, dan meraih ijazah sarjana.
Di negeri dengan penduduk berjubel ini, tak mudah mencari kerja. Virus nepotisme, membuat ijazah seakan tak berguna. Berkas lamaran tanpa amplop masuk keranjang sampah. Maka dia mengembara mencari kerja. Ironis. Di suatu sisi mengeluh kekurangan guru, di sisi lain ribuan guru hanya dijadikan honorer, sementara PNS lainnya diperbanyak untuk menyelesaikan mission sacre, yaitu mengisi TTS dan menjaga raja-ratu di papan catur. Jalan hidup membawanya sampai di kota kabupaten di Kalimantan Barat.
“Bu Yanti,” suara Kepala Dinas melengking membaca lembaran ijazah lalu melanjutkan: “Dalam status honorer, Anda ditempatkan di sebuah desa di daerah Ambawang Laut. Anda bersedia?”
“Saya bersedia, Pak,” sahut Yanti.
“Perlu Anda ketahui…,” timpal Kepala Dinas. “Tiga guru sebelumnya gagal. Ada yang tak betah, karena tempatnya terpencil. Ada yang tak bisa bekerja sama dengan guru lainnya. Ada yang malah membuat skandal, sehingga ditolak oleh penduduk setempat. Kami berharap Bu Yanti berhasil. Setelah itu, kita lihat apa Anda layak diangkat jadi guru.” Penjelasan itu diterimanya sebagai tantangan. Dia akan buktikan bahwa, menjadi guru baginya bukan sekadar mencari kerja, melainkan demi panggilan hidup, dan cintanya kepada anak-anak, dan pedesaan.
Dengan selalu diiringi doa, dia mulai bekerja. Pagi hari di sekolah. Sore hari ke kampung-kampung mendatangi orangtua murid, dan anak-anak yang putus sekolah. Minggu sore dia berada di tengah muda-mudi untuk berolahraga dan menyanyi bersama. Nama Bu Yanti mulai bersemi dalam lubuk hati setiap warga desa.
Dalam waktu enam bulan, terjadi perubahan besar di lereng Gunung Ambawang. Suasana menjadi riang dan bersemangat. Gairah belajar anak-anak meningkat. Para ibu tidak lagi duduk santai sambil saling bertukar gosip, tetapi sibuk bekerja di kebun sayur masing-masing. Penyuluhan, dan contoh mereka peroleh dari Bu Yanti. Warga desa diperkenalkan dengan pola hidup sehat, dan bersih membuat mereka tampil percaya diri. Para muda-mudi didorong untuk berolahraga. Semua jerih payahnya membuahkan hasil. Murid semakin bertambah. Anak-anak yang putus sekolah dengan kesadaran sendiri kembali ke bangku sekolah. Regu voli Ambawang memboyong piala Sumpah Pemuda, mengagetkan seisi kecamatan. Bangunan sekolah yang semula beratap, dan berdinding rumbia diganti dengan atap seng, dan berdinding papan hasil swadaya masyarakat sebagai tanda terima kasih kepada Bu Yanti. Ibu-ibu terutama para gadis, tampil bersih, dan rapi, baik rias maupun busana, membuat desa itu bagaikan taman penuh bunga yang didatangi kumbang. Bu Yanti menjadi Pradnya Pharamita, atau Ratu Ilmu Pengetahuan bagi warga desa.
Prestasi dan kecantikannya menjadi topik pembicaraan guru-guru muda di seluruh kabupaten. Tidak sedikit yang datang mendekat. Senyuman ramah dia berikan kepada semua orang, tetapi hati, dan cintanya hanya untuk Mas Heru teman kuliahnya di Madiun, yang kini sedang mengambil S2 di Jakarta. Keduanya bersepakat untuk menikah, kalau kuliah Mas Heru selesai, dan dirinya resmi menjadi guru dalam status PNS. Semua itu tersusun rapi dalam ingatannya.
*
Suara tangisan anak-anak memecah kesunyian Liang. Mereka panik ketakutan karena, Bu Yanti tidak berada di tempatnya. Dia menghilang. Tak seorang pun tahu, kapan Bu Guru pergi, dan perginya lewat mana. Merasa ditinggalkan, anak-anak marah, dan mengumpat Bu Yanti sebagai guru yang tidak bertanggung jawab. Tangisan berhenti ketika terdengar suara ramai di mulut gua. Batu-batu disingkirkan. Pintu gua terbuka. Anak-anak muncul berlari langsung ke dalam pelukan orangtua masing-masing.
“Siapa yang beri tahu kalau kami terkurung di sini?” tanya seorang anak kepada ayahnya. “Bu Guru yang beri tahu. Untung saja Bu Yanti cepat ngasi kabar,” sahut sang ayah. Pak Kepala Desa dan Hansip masuk ke dalam liang. Sesaat kemudian terdengar jeritan histeris.
“Bu Guruu..!” suara Kades. Penduduk berlari masuk liang. Mereka tersentak melihat sesuatu yang mengerikan. Sepotong tangan berlumuran darah tertindih batu. Sebilah pisau pramuka terletak di samping tangan itu. Penduduk bertangisan.
“Bu Yanti itu bukan manusia, tapi dewi,” kata Pak Kades.
“Bukan dewi, tetapi Srikandi,” timpal yang lain. “Hanya Srikandi yang rela mengorbankan dirinya untuk keselamatan orang lain. Srikandi itu pahlawan.”
“Bu Yanti di mana?” tanya Pak Kades. Tak ada jawaban karena mereka hanya memikirkan anak-anak, dan tidak memperhatikan Bu Yanti.
Dengan rasa menyesal, mereka berlari turun gunung mencarinya, tetapi Bu Yanti tidak ada di rumahnya. Seorang nenek menjelaskan bahwa, ibu-ibu sudah membawa Bu Yanti dengan sampan ke Puskesmas Kubu.
Warga desa berkumpul di sekolah. Mereka menangis, dan berdoa. Jasa dan kebaikan Bu Yanti dikenang. Puji Tuhan, meski tangannya cacat, Bu Guru selamat. Peristiwa itu menarik perhatian masyarakat. Sebuah stasiun radio membujuk Bu Guru untuk diwawancarai. Hasil wawancara disiarkan dan direlay oleh stasiun radio lainnya.
“Bu Guru disebut sebagai pahlawan karena rela mengorbankan diri untuk keselamatan orang lain,” pengantar wawancara oleh reporter.
“Saya bukan pahlawan. Berniat pun tidak,” potong Bu Yanti.
” Ibu nekat memotong tangan sendiri untuk menyelamatkan anak-anak.”
” Saya takut mati, dan tak mau mati sia-sia. Karena itu, saya potong tangan saya,” sahut Bu Yanti.
“Yang tertindih batu ‘kan pergelangan, dan jemari. Kenapa Ibu memotong tangan Ibu sampai ke siku?” tanya reporter.
“Memotong lengan tidak mudah, karena harus memotong tulang. Lebih mudah memotong siku karena hanya memisahkan lengan atas, dan lengan bawah. Itu yang kulakukan,” sahut Bu Yanti.
“Ibu suka membawa pisau?”
“Tidak. Tetapi sebagai pramuka saya akrab dengan pisau. Dengan pisau saya membantu ibu-ibu di kebun sayur. Ranting yang mengadang saat bertamasya, dapat saya singkirkan dengan pisau, dan akhirnya, dengan pisau saya memotong tangan sendiri agar selamat,” jelas Bu Yanti.
“Ibu bisa mati karena kehabisan darah.”
“Untuk menahan darah saya ikatkan sehelai syal erat-erat di atas siku sebelum memotong tangan,” jelas Bu Yanti tenang.
“Kata penduduk, pintu gua itu tertutup batu. Bagaimana Ibu bisa keluar?”
“Angin yang masuk menunjukkan bahwa ada jalan keluar. Lewat lubang itu saya menyuruk keluar dan berhasil,” jelas Bu Guru.
“Dengan tangan yang cacat itu, apa Ibu tidak merasa minder ?”
“Minder terhadap siapa? Tak seorang pun mengejek tanganku ini. Kalaupun cacat ini menjadi kendala untuk menjadi PNS khususnya guru, ya, tidak apa-apa. Saya terima dengan ikhlas.”
Wawancara terus berlanjut. Persatuan Guru Republik Indonesia Kalbar memperjuangkan agar Bu Yanti diterima sebagai guru. Organisasi lain mendukung. Akhirnya, Bapak Menteri sendiri menyampaikan surat pengangkatan Dra Yustina Haryanti menjadi guru. Organisasi sosial internasional di Swiss mengirim sepotong tangan imitasi yang elastis, dan sempurna sehingga membuat penampilan Bu Yanti kembali sempurna.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar